Gue pernah liat shorts di YouTube yang judulnya "It is 3 p.m at the coffee shop". Isinya tentang beragam orang yang mampir ke coffee shop di jam segitu. Ada anak sekolah, ada orang pulang kerja, ada yang pacaran, pokoknya macem-macem. Waktu ngeliat video itu gue mikir wah seru ya berbagai macam orang ngumpul di satu tempat. Setelah hampir tiga bulan kerja *part-*time di monospace, gue pelan-pelan ngerasain sensasi yang sama. Walaupun, gak se-estetik video itu. Ada waktu dimana suasana kafe kerasa dreamy dan lively. Tapi sayangnya, sekarang bukan jam 3 sore melainkan jam 12 siang. Jam di mana darah gue lagi naik-naiknya dan jadi makin naik saat ada customer nyebelin yang gak pergi-pergi.

"Mbak beneran nggak mau ngasih nomor telfonnya?" Tanya bapak-bapak di hadapan gue untuk yang ketiga kalinya.

"Maaf Pak kalau bukan mau pesen lebih baik bapak balik ke tempat duduk, takutnya menghalangi yang mau pesen."

"Kalau mbak mau sama saya, mbak gak usah kerja di kafe kecil gini lagi." Rayu si bapak—atau om-om ini.

Iya, ada waktu dimana kafe dipenuhin sama anak-anak muda yang lagi nongkrong, anak sekolah-kuliah yang lagi nugas, ciwi-ciwi yang lagi ghibah, atau pasangan yang lagi ngedate. Tapi gak jarang juga ada pengunjung nyebelin kayak om-om yang gue hadapin sekarang.

"Maaf Pak—"

"Misi Pak, saya mau pesen."

Untungnya ditengah kelelahan itu, Sania dateng dan langsung peka sama keadaan. Ekspresi Sania gak beda jauh dari ekspresi muka gue; males dan kesel. Gue sama Sania udah lumayan akrab sekarang. Mungkin karena cuma beda setaun, kita jadi gampang akrab. Sania adalah karyawan intern di kantor yang ada di sebrang monospace. Makannya dia jadi orang yang ngambil pesenan kopi orang-orang kantor. Kata owner kafe, mereka emang langganan banget beli kopi kesini. Tapi kali ini, Sania dateng bareng dua orang lagi. Satu perempuan sebayaan sama dia, satu lagi laki-laki tinggi hidung mancung. Mungkin itu juga yang ngebuat si om-om ini langsung mundur. Dua temen—atau rekan kerja Sania itu juga ngeliatin si om dengan tatapan gak suka. Apalagi laki-laki tinggi yang naikin sebelah alisnya itu. Gak lama, si om langsung mundur dan pergi.

"Untung banget lo datengnya pas." Kata gue ke Sania. Gak lupa, gue berbasa-basi. “Tumben gak sendiri.”

"Iya, pengen nongkrong dulu sebentar. Kopi buat orang kantor disiapin ntaran aja ya pas kita mau pergi." Jelas Sania, gue cuma ngasih gestur OK sambil nunggu mereka nentuin pesenan. "Potato scone satu...lo mau croffle kan Wid? Croffle nya satu...kalau lo apa Daf?"

Kali ini, akhirnya, laki-laki tinggi yang sebelumnya cuma berdiri di belakang Sania dan temennya itu maju ke depan. Begitu dia berdiri di depan counter, wangi vanilla campur kayu-kayuannya langsung menuhin penciuman gue, hampir nyaingin wangi kopi dan pastry di sini. Waktu tau dari Kak Miranda alias owner tempat ini tentang karyawan di kantor sebrang yang sering group order kopi di sini, yang ada di kepala gue waktu itu sekumpulan bapak-bapak kantoran yang bahas pajak dan bbm. Tapi setelah ngeliat Sania dan beberapa karyawan lain yang kadang dateng bareng Sania, menurut gue vibes kantor itu malah mirip start up yang isinya anak-anak muda.

"Garlic bread satu ya." Suaranya persis kayak wanginya; manis, tapi ada hint maskulin, elegan, dan berkarisma. Kemudian dia nengok ke arah dua temen—atau rekan kerjanya itu. "Mau snack platter buat barengan nggak?"

Gue udah berbulan-bulan kerja part-time di beberapa coffee shop yang berbeda. Gue udah ketemu berbagai macam pelanggan, termasuk yang ganteng. Tapi yang ini gantengnya beda. Kalau kata gue yang satu ini gantengnya minta dimilikin. Setelan basic orang kantoran berupa kemeja polos dan trousers keliatan wah banget di dia. Jam tangan warna silver yang gue yakin harganya dua digit ke atas itu gak memancarkan aura bapak-bapak apalagi om-om, tapi memancarkan aura anak tunggal kaya raya. Bercanda. Maksud gue memancarkan aura pekerja keras berkarisma.

Selagi ketiganya makan di salah satu meja, gue sibuk nyiapin kopi buat karyawan kantor lainnya sambil sesekali curi-curi pandang ke arah laki-laki itu. Jujur, kalau tau Sania punya rekan kerja seganteng itu, gue ngusahain shift pagi aja dari dulu biar ada kesempatan buat ketemu.

Akhirnya, tiba juga waktunya kita berpisah (keren gak tuh). Sania dan dua temennya itu balik lagi ke counter buat ngambil sisa pesenan kopinya.

"Makasih ya Kal." Ucap Sania. Temennya yang perempuan, yang kalau gak salah namanya Widya, juga ngucapin hal yang sama. Terakhir, giliran laki-laki tinggi ganteng yang wangi vanilla itu. Dia ngambil take-away cup colder terakhir di atas counter dan melayangakan senyum ke gue. Senyum yang gue yakin manisnya melebihi manis simple syrup.

"Makasih ya."

Detik itu juga gue memutuskan kalau gue tertarik sama cowok ini. Walaupun ya gak tau juga ni cowok bisa digapai atau enggak.