Pagi ini jadi kali pertama gue sama Daffa ketemu diluar urusan per-kopi-an. Setelah percakapan pdkt itu, besoknya kita gak ada interaksi sama sekali karena gue beneran libur. Besoknya, kantornya Daffa yang libur. Besoknya lagi, dia pesen kopi kayak biasa dan interaksi kita gak lebih dari itu. Dan ya gitu aja sampai tiga hari berlalu. Jujur, sampe sekarang, gue masih gak tau omongan—tepatnya ketikan—dia soal pdkt itu serius atau enggak. Karena menurut gue konteks yang cocok dengan situasi ini ada banyak. Daffa bisa aja cuma bercanda karena di matanya gue adalah anak kuliahan yang seumuran sama adiknya (kalau dia punya) atau anak tetangga yang suka dia usilin. Daffa bisa aja cuma bercanda buat mencairkan suasana karena kayaknya kita bakal jadi temen. Since I’ve become friends with Sania, he might wants to befriend me as well. Terakhir, Daffa bisa aja bercanda karena…ya he was just being himself, alias dia tipe yang bercandanya flirty padahal anti pacaran ATAU lebih parah lagi udah punya pacar. Tapi mukanya gak ada muka-muka tukang selingkuh apalagi buaya darat sih. TERAKHIR banget, Daffa bisa aja bercanda karena gue anaknya keliatan santai—which is kinda true—dan ya mungkin kita se-frekuensi?

Waktu gue turun dari ojek online, pas banget Daffa juga baru turun dari kantornya dan lagi siap-siap mau nyebrang. Dia langsung melambaikan tangannya waktu ngeliat gue. Kita pergi makan di kedai bubur lima langkah dari kafe (aslinya 20 langkah, gue pernah ngitung). Sepanjang jalan, kita cuma basa-basi doang. Nanya masuk jam berapa dan sebagainya. Sampai akhirnya kita duduk di hadapan mangkuk bubur kita masing-masing. Sekarang, gue dihadapkan dengan isu dan pertanyaan paling penting, jauh lebih penting dibandingkan pertanyaan soal keseriusan ketikan Daffa itu, yaitu: Daffa makan bubur diaduk atau gak diaduk?

“Gue tim gak diaduk.” Ucap Daffa sambil ngambil sendok dan garpu di tempat alat makan di sisi meja.

“Gue belum nanya.”

“Udah keliatan dari mukanya.”

“Gue tim diaduk.”

Sebenernya, gak masalah juga sih mau masuk tim manapun. Kalau dia makan bubur diaduk, ya bagus kita satu selera. Tapi kalau enggak pun, ya berarti kita jadi punya satu topik obrolan abadi. Gue penasaran karena seru aja nebak-nebak cara orang makan bubur terus dilanjut ke perdebatan yang nggak perlu.

“Lo gak kasian apa kalau topping-nya pada misah-misah gitu?” Tanya gue, memulai obrolan.

“Lebih kasian kalau mereka dipaksa bersatu, Kal.” Jawab Daffa sambil ngebuka toples kerupuk dan ngambil beberapa buat dia taro di piring kecil yang disiapin abang bubur nya. Jawaban dia membuktikan hipotesis gue tentang kita yang se-frekuensi karena humor kita nyambung. “Terus nih, abangnya naro topping dipisah-pisah biar rapih dan cantik. Bayangin perasaan abangnya waktu liat hasil karyanya diaduk-aduk brutal gitu.”

Ya argumen Daffa lumayan masuk akal—dalam skala gue. Tapi dibanding mikirin perasaan abang penjual bubur, mending gue mikirin perasaan gue sendiri.

Perasaan gue juga lo aduk-aduk. Ucap gue dalam hati sambil memutar bola mata.

Waktu gue kembali ngeliat ke arah Daffa, dia lagi ngeliatin gue sambil senyum-senyum dengan kedua tangan yang dilipat di atas meja. Di saat itu gue sadar, kalau tadi gue bukan ngomong dalam hati melainkan malah mengungkapkan isi hati gue dengan lantang.

“Oh jadi nungguin…” Goda Daffa dengan senyum yang makin lebar, dan ngeselin. Kalau gue? Ya lagi mengutuk diri sendiri. Bisa-bisanya mulut gue gak bisa bedain mana yang boleh diomongin pake suara, mana yang cukup dipendam sendirian. Ngeliat gue yang menahan malu dan mungkin muka gue hampir semerah sambel bubur, Daffa ketawa pelan. “Gue banyak kerjaan kemarin-kemarin, Kal. ‘Kan masuk akhir bulan sekarang, ada laporan bulanan yang harus dikerjain. Jadi kemarin gue ngejar laporan bulanan dulu, sekarang baru ngejar lo.”

Anehnya, begitu Daffa selesai ngomong, gue ngerasa ada sesuatu di perut gue. Iya, ada kupu-kupu berterbangan di perut gue, khas anak remaja lagi kasmaran. Gue gak tau apakah itu karena suara Daffa, yang dari sananya udah bagus, ditambah nada bicara yang lembut; sorot matanya yang teduh dan tulus; atau karena dia ngasih alesan, ngejelasin situasinya dengan jujur tentang kenapa gue kesannya kayak digantung selama beberapa hari. Atau, fakta bahwa dia langsung ngajak gue ketemu, begitu kerjaan dia udah berkurang. **Ngeliat pemilihan waktu ketemu kita, yang mana pagi-pagi sebelum jam kerja—padahal kita bisa ketemu nanti siang, bikin gue ngerasa kalau ketemu sekala ada di dalam to-do list nya dia yang langsung dia lakuin begitu ada waktu. Gue ngerasa ini artinya dia mikirin gue. Not in a cheesy way, tapi dalam artian bahwa dia nggak hit and run.

Setelah beberapa saat berlalu dan gue masih diem, karena gak tau mau jawab apa, Daffa ngomong lagi.

“Jangan salting dulu, Kal, baru juga mulai.” Katanya sambil ngasih senyum manisnya ke gue sebelum dia lanjutin makan buburnya.

“Diem.”

Kupu-kupu yang ada di dalem perut gue itu rasanya hampir sama anehnya kayak bubur gak diaduk. Tapi gue suka sih. I like the weird little feelings in my stomach, and the man that was sitting in front of me.